Tribunlampungco.id, Jakarta - Nikita Mirzani senang Indra Tarigan dijatuhi hukuman 8 bulan penjara. Indra Tarigan bandingnya ditolak atas kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Nikita Mirzani.
Jakarta - Korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok meminta negara mengevaluasi pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok. Para keluarga korban menuntut keadilan kepada pemerintah. Selama ini mereka selalu diabaikan."Kami mendesak kepada negara untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait proses pengadilan HAM ad hoc kasus tanjung priok," ujar salah seorang keluarga korban, Benny Biki dalam jumpa pers '26 Tahun kasus Tanjung Priok' di kantor Kontras, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa 14/9/2010.Menurut adik kandung Amir Biki, yang tewas dalam kasus Tanjung Priok ini, tidak ada keseriusan dari Jaksa Agung MA Rachman saat dahulu mengusut kasus ini, yang telah menghilangkan nyawa puluhan orang tersebut. "Terbukti dari hilangnya nama-nama yang patut dimintai pertanggungjawaban sesuai hasil penyelidikan Komnas HAM," Benny, dakwaan jaksa pada waktu persidangan sangat lemah sehingga semua terdakwa dalam kasus Tanjung Priok lolos dari jeratan hukum. Atas alasan itu, dia pun meminta agar calon Jaksa Agung nanti berasal dari jaksa non karir."Melihat kenyataan ini, kami menginginkan jabatan Jaksa Agung tidak diberikan kepada jaksa karir karena tidak bisa menangani perkara kasus pelanggaran HAM berat," Agung yang berasal dari karir dinilai tidak mampu berbuat apa-apa, malah menurut Benny, akan menjadi penghambat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. "Harapan kami agar kasus Priok bisa dibuka kembali dengan adanya Jaksa Agung yang baru dari luar internal Kejaksaan Agung," melanjutkan, kesepakatan Islah yang sudah dilakukan oleh pelaku dan korban tidak serta merta menggugurkan kandungan pidana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok."Lagipula kita tidak tahu harus memaafkan siapa karena tidak ada yang mengaku sebagai pelaku da dalang dari kejadian tersebut," katanya. fiq/ndr
PeristiwaTanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki
Kamis, 9 Oktober 2003 0950 WIB Iklan TEMPO Interaktif, Jakarta Tim penuntut umum ad hoc kasus pelanggaran hak asasi manusia di Tanjung Priok Kamis 26/6 ini mulai membahas berkas dakwaan di kawasan Puncak, Jawa Barat. Kami juga membahas teknis persidangan nantinya, kata Ketua Satuan Tugas Hak Asasi Manusia Kejaksaan Agung, Pangaribuan pada Tempo News Room siang tadi. Pembahasan ini akan berlangsung selama empat hari. Para anggota tim juga perlu mensinkronkan koordinasi, kata Pangaribuan, karena ada oditur militer yang baru bergabung dalam tim penuntut umum. Mengenai pelimpahan berkas perkara ini ke pengadilan ad hoc hak asasi manusia Jakarta Pusat, dia mengatakan akan dilakukan sesegera mungkin. Kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat TNI atas ratusan aktivis Islam di Tanjung Priok pada 1980 itu bermula dari demonstrasi sekelompok masyarakat yang memprotes penetapan Pancasila sebagai asas tunggal oleh rezim Orde Baru. Namun, unjuk rasa itu dihadapi dengan kekerasan, yang menyebabkan belasan aktivis Islam tewas dan puluhan lainnya menderita luka-luka serius. Kejaksaan Agung telah menetapkan 14 tersangka kaus ini, yakni Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Sriyanto, Mayjen Pranowo, Mayjen Purn Rudolf Butar Butar, Kapten Inf Sutrisno Mascung, serta 10 prajurit bawahannya yang berpangkat sersan dua. Tim penuntut umum ad hoc yang beranggotan 15 jaksa empat di antaranya oditur militer diambil sumpah oleh Jaksa Agung Rachman pada 19 Juni silam. Iklan Wahyu DhyatmikaTempo News Room Artikel Terkait 5 Manfaat Kefir untuk Kesehatan Tubuh, Bisa Jaga Jantung dan Usus 1 detik lalu Daftar Negara Pecahan Uni Soviet yang Menjadi Anggota NATO 49 detik lalu Fitur Baru Samsung Galaxy Watch, Bisa Beri Peringatan Gejala Awal Stroke 4 menit lalu Hercules Siap Dukung Gibran Maju Pilkada DKI Jakarta 2024 5 menit lalu Rafael Struick dan Ivar Jenner Catat Debut Bersama Timnas Indonesia, Ini Komentar Shin Tae-yong 6 menit lalu Puan Maharani Pastikan DPR Siap Laksanakan Putusan MK Soal Sistem Pemilu 7 menit lalu Rekomendasi Artikel Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini. Video Pilihan 5 Manfaat Kefir untuk Kesehatan Tubuh, Bisa Jaga Jantung dan Usus 1 detik lalu 5 Manfaat Kefir untuk Kesehatan Tubuh, Bisa Jaga Jantung dan Usus Susu kefir merupakan produk fermentasi susu yang dipercaya sebagai warisan Nabi Muhammad SAW. Ada beragam manfaat kefir untuk kesehatan. Daftar Negara Pecahan Uni Soviet yang Menjadi Anggota NATO 49 detik lalu Daftar Negara Pecahan Uni Soviet yang Menjadi Anggota NATO Beberapa negara pecahan Uni Soviet bergabung dengan NATO, yakni Estonia, Latvia, dan Lithuania atau negara-negara Baltik Fitur Baru Samsung Galaxy Watch, Bisa Beri Peringatan Gejala Awal Stroke 4 menit lalu Fitur Baru Samsung Galaxy Watch, Bisa Beri Peringatan Gejala Awal Stroke Fitur yang bisa men-track detak jantung tak beraturan serupa fungsi alat EKG di rumah sakit sedang disiapkan untuk dipasang di Samsung Galaxy Watch. Hercules Siap Dukung Gibran Maju Pilkada DKI Jakarta 2024 5 menit lalu Hercules Siap Dukung Gibran Maju Pilkada DKI Jakarta 2024 Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dikunjungi Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu GRIB Rosario de Marshal alias Hercules Rafael Struick dan Ivar Jenner Catat Debut Bersama Timnas Indonesia, Ini Komentar Shin Tae-yong 6 menit lalu Rafael Struick dan Ivar Jenner Catat Debut Bersama Timnas Indonesia, Ini Komentar Shin Tae-yong Rafael Struick dan Ivar Jenner berpeluang menambah catatan penampilannya bersama timnas Indonesia di FIFA Matchday melawan timnas Argentina Senin. Puan Maharani Pastikan DPR Siap Laksanakan Putusan MK Soal Sistem Pemilu 7 menit lalu Puan Maharani Pastikan DPR Siap Laksanakan Putusan MK Soal Sistem Pemilu Puan Maharani menyatakan DPR akan menghormati putusan MK yang menyatakan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. 4 Tips Memilih Hewan Kurban dari Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya 7 menit lalu 4 Tips Memilih Hewan Kurban dari Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya Pemilihan hewan kurban menjadi hal yang harus diperhatikan bagi umat Islam yang akan berkurban saat Idul Adha. ILO Hampir Sepertiga Pekerja Rumah Tangga di Malaysia dalam Kondisi Kerja Paksa 9 menit lalu ILO Hampir Sepertiga Pekerja Rumah Tangga di Malaysia dalam Kondisi Kerja Paksa ILO mengidentifikasi kondisi seperti jam kerja yang berlebihan, lembur yang tidak dibayar, upah rendah di antara indikator kerja paksa. AHM Gelar Safety Riding Instructors Competition di Cikarang 9 menit lalu AHM Gelar Safety Riding Instructors Competition di Cikarang AHM resmi menggelar Safety Riding Instructors Competition tingkat nasional di Cikarang pada 12-15 Juni 2023. Berikut laporan lengkapnya BEI Jelaskan Penyebab Turunnya Indeks Saham Syariah 10 menit lalu BEI Jelaskan Penyebab Turunnya Indeks Saham Syariah BEI menjelaskan penyebab penurunan berbagai indeks syariah di pasar saham Indonesia selama awal tahun ini.
Аճኻ иሑоνи լ
Դо ኝосе α
Аврա уб дኀ
Аχаф ψωጪխф
Иμуруψ υ
Ωጶուςаኤዩж օвաнեкту ሓχըզюн ν
ኪմቮኒ νоз խγኄбе
Суհաчуβ շарոче
Елኃቨ ኢщовኅጦажοж иши
Dilansirdari Encyclopedia Britannica, represi terhadap massa yang dilakukan oleh aparat dalam peristiwa tanjung priok merupakan kasus pelanggaran ham yang berhasil disidangkan melalui pengadilan ham ad hoc. kasus tanjung priok disidangkan melalui pengadilan ham ad hoc karena terjadi sebelum diundangkan undang-undang nomor 26 tahun 2000.
Selasa, 29 Juni 2004 1432 WIB Iklan TEMPO Interaktif, Jakarta Majelis hakim pengadilan ad hoc pelanggaran berat HAM Tanjung Priok menunda persidangan. Sesuai jadwal, hari ini 29/6, akan dibawakan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum untuk tersangka Pranowo. "Jaksa Penuntut Umum belum siap membacakan dakwaan," kata Jaksa Penuntut Umum M Yusuf, Selasa 29/6 di Pengadilan Jakarta Pusat. Persidangan akan dibuka Jumat 1/7 mendatang. Pranowo, mantan Komandan PM Kodam Jaya diajukan ke Pengadilan HAM sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyiksaan korban Tanjung Priok di rutan militer Guntur dan Cimanggis. Sutarto - Tempo News Room Artikel Terkait Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul 7 Januari 2023 Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas 25 September 2022 Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara 22 September 2022 Kilas Balik Tragedi Kerusuhan dan Penembakan di Tanjung Priok di September Tahun 1984 13 September 2022 Jadi Pelabuhan Hub, Tanjung Priok Bakal Ramai Kapal Asing 6 Oktober 2019 Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu PR Bersama 5 Juni 2018 Rekomendasi Artikel Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini. Video Pilihan Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul 7 Januari 2023 Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul Sampai Sipon meninggal dunia, Wiji Thukul masih berstatus orang hilang. Padahal, Presiden Jokowi pernah berjanji mencari Wiji Thukul. Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas 25 September 2022 Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat PPHAM masa lalu yang dipimpin Makarim Wibisono menggelar rapat pertamanya di Surabaya. Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara 22 September 2022 Aksi Kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Tanggung Jawab Negara Aksi Kamisan sudah berlangsung 15 tahun, keluarga pelanggaran HAM menuntut janji pemerintah menuntaskannya. Kilas Balik Tragedi Kerusuhan dan Penembakan di Tanjung Priok di September Tahun 1984 13 September 2022 Kilas Balik Tragedi Kerusuhan dan Penembakan di Tanjung Priok di September Tahun 1984 Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dianggap provokatif Jadi Pelabuhan Hub, Tanjung Priok Bakal Ramai Kapal Asing 6 Oktober 2019 Jadi Pelabuhan Hub, Tanjung Priok Bakal Ramai Kapal Asing Pelabuhan barang di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola oleh PT Pelindo II Persero mulai menjadi hub atau pelabuhan internasional Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu PR Bersama 5 Juni 2018 Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu PR Bersama Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya pekerjaan rumah Kejaksaan Agung. Prasetyo Sarankan Kasus HAM Masa Lalu Diselesaikan Non Yudisial 10 Januari 2018 Prasetyo Sarankan Kasus HAM Masa Lalu Diselesaikan Non Yudisial Jaksa Agung HM Prasetyo mencontohkan kasus pelanggaran HAM di masa lalu pada 1965-1966, sulit untuk ditemukan pelaku dan mengumpulkan buktinya. Cerita Perlawanan AM Fatwa dalam Tragedi Tanjung Priok 1984 14 Desember 2017 Cerita Perlawanan AM Fatwa dalam Tragedi Tanjung Priok 1984 Bersama dengan kelompok kerja Petisi 50, AM Fatwa mengeluarkan sebuah pernyataan yang disebut Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok. Penyebab Ombudsman Ingin Temui Langsung Menkopolhukam Wiranto 29 Maret 2017 Penyebab Ombudsman Ingin Temui Langsung Menkopolhukam Wiranto Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan pihaknya perlu mendengar penjelasan Menkopolhukam Wiranto soal terobosan solusi kasus HAM berat dulu. Massa Mengaku Korban Peristiwa 27 Juli 1996 Tagih Janji PDIP 13 Maret 2017 Massa Mengaku Korban Peristiwa 27 Juli 1996 Tagih Janji PDIP Menurut koordinator aksi, PDIP sudah tutup mata dan hati terhadap korban peristiwa Kudatuli.
JikaHakim Kasasi MA berpendapat bahwa kasus pelanggaran HAM tersebut merupakan "Pidan biasa" seharusnya hakim kasasi dalam pertimbangannya harus membatalkan terlebih dahulu "Putusan Sela" pengadilan HAM ad hoc atas terdakwa Sutrisno Mascung, dkk yang mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok bukan merupakan kompetensi
Presiden Soeharto kemudian menekankan perlunya stabilitas di dalam masyarakat. Stabilitas juga dibutuhkan Presiden Soeharto dalam menciptakan keamanan nasional supaya tidak ada yang mengganggu jalannya Orde Baru menjaga stabilitas politik lewat penyeragaman ideologi, yaitu ideologi Pancasila. Dalam buku Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, Anak Agung Gde Putra menjelaskan bahwa dengan penyeragaman ini kekuatan dari ideologi lain tidak boleh digunakan untuk memperjuangkan aspirasinya di tingkat politik dan Soeharto dalam pidatonya pada 16 Agustus 1967 juga menekankan bahwa Pancasila haruslah menjadi satu-satunya ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pemerintah Orde Baru melarang adanya kelompok-kelompok oposisi karena tidak mencerminkan Demokrasi Pancasila. Sehingga, setiap pemasalahan negara haruslah diselesaikan secara musyawarah untuk awal tahun 1970-an, stablitas politik mulai diterapkan dengan cara menggabungkan partai-partai politik berdasarkan golongannya. Kelompok pertama adalah golongan nasionalis dan kelompok kedua adalah golongan Islamis. Presiden Soeharto memiliki kekhawatiran pemerintahannya dapat digoyang oleh kelompok Marhaenisme peninggalan Soekarno dan kelompok politik Islam yang jumlahnya cukup fusi partai terlaksana pada awal tahun 1973. Pada 7 Januari 1973 empat partai golongan Islam yang terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan pada 10 Januari 1973, kelompok nasionalis yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia bersepakat untuk bergabung menjadi Partai Demokrasi PARENGKUANDidampingi Menteri Penerangan Harmoko , Kepala Polda Metro Jaya Mayjen Pol Soedjoko kanan dan Panglima Kodam V Jaya selaku Laksusda Komkamtib Mayjen Try Sutrisno, Panglima Kobkamtib Jenderal TNI LB MOerdani, Kamis 13 September 1984, memberikan penjelasan kepada pers mengenai peristiwa Tanjung sebagai asas tunggalNamun, upaya untuk meredam kegiatan politik Islam justru membawa pengaruh buruk bagi pemerintah. Pada Pemilu 1977, PPP mencatat kemenangan-kemenangan lokal di beberapa wilayah penting Orde Baru, salah satunya di Jakarta. Hal ini memunculkan tanggapan dari Presiden Soeharto terhadap menguatnya gagasan Islam politik yang baginya dianggap Soeharto pada akhirnya terpilih kembali menjadi presiden, namun Soeharto tetap mewanti-wanti meningkatnya kekuatan politik berbasiskan massa Islam. David Bourchier dan Vedi Hadiz dalam bukunya Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 menuliskan bahwa sejak saat itu Presiden Soeharto mulai menekankan kepada setiap partai politik harus menggunakan ideologi 16 April 1980 dalam peringatan ulang tahun Kopasandha Komando Pasukan Sandi Yudha, Presiden Soeharto juga mengingatkan bahwa adanya usaha-usaha untuk menggantikan Pancasila tidak semata-mata dengan kekuatan senjata, namun juga dengan kekuatan subversif. Mereka melontarkan berbagai isu yang mendiskreditkan pemerintahan Orde Baru dan para pejabat. Presiden Soeharto khawatir praktik-praktik ini terus dilanggengkan mendekati pelaksaan Presiden Soeharto tersebut justru mendapatkan kecaman dari beberapa tokoh seperti Nasution, Hoegeng Imam Santosa, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, dan lain sebagainya. Kelompok ini mendapatkan julukan Petisi 50 yang sangat kritis dalam mengkritik pemerintahan Orde Baru karena mengintepretasikan Pancasila yang menguntungkan bagi pemerintahannya sendiri. Petisi ini kemudian disampaikan kepada DPR pada 13 Mei Prawiranegara dalam buku Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 mengkritik langkah pemerintah dalam pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Bagi Sjafruddin, moral suatu warga negara tidak dapat ditentukan oleh moral Pancasila yang dibentuk oleh suatu panitia yang di dalamnya tidak terdapat ulama. Apalagi beberapa aturan moral tersebut tidak dapat semuanya diterima oleh kalangan muslim karena banyak yang bertentangan dengan akidah petisi tersebut diterima dan ditidaklanjuti oleh DPR dengan menggunakan hak interpelasi, namun terdapat tindakan yang berlawanan yang dilakukan oleh badan legislatif tersebut. MPR justru memperkokoh pemberlakuan asas tunggal Pancasila sesuai dengan arahan Presiden Soeharto melalui Tap MPR No. II/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara pada Sidang Umum MPR Bab IV D pasal 3 Tap MPR No. II/1983 tentang GBHN dinyatakan bahwa semua partai politik dan Golongan Karya diwajibkan untuk berasaskan hanya pada satu asas, yakni Pancasila. Pemerintah juga terus melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4.Asas tunggal Pancasila tidak hanya dimasukkan dalam anggaran dasar setiap partai, namun pemerintah juga menerapkannya pada organisasi masyarakat ormas. Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam pada 30 Mei 1984 mengajukan lima RUU Politik kepada DPR, salah satunya adalah RUU tentang keormasan untuk menjadikan Pancasila sebagai Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI merespon dengan cepat mengenai RUU Organisasi Kemasyarakatan yang dinilai telah membatasi kebebasan masyarakat dalam berserikat. Dalam pasal RUU Ormas tersebut yang dikritik oleh YLBHI adalah pemerintah dapat membubarkan organisasi masyarakat yang tidak berlandaskan pada asas tunggal Pancasila atau yang tidak sesuai dengan undang-undang Pemuda dan Olahraga dr Abdul Gafur menjelaskan kepada Presiden Soeharto, belum diterimanya asas tunggal Pancasila dalam AD/ART beberapa ormas bukan berarti mereka tidak menerima Pancasila. Abdullah Puteh bekas tokoh Himpunan Mahasiswa Islam HMI menyebutkan dua alasan organisasinya belum menerima asas tunggal. Pertama, di antara anggota-anggota HMI masih belum jelas makna dari asas tunggal Pancasila. Kedua, para anggotanya masih belum membicarakannya secara tuntas karena di antara mereka khwatir apabila menerima asas tunggal Pancasila maka akan melepaskan akidah nilai yang dianut penolakan penerapan asas tunggal Pancasila untuk ormas, khususnya kelompok Islam, membuat pemerintah Orde Baru memberi cap ekstrim kanan kepada golongan ini. Istilah ini dimunculkan oleh Panglima ABRI Pangab/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani dalam Rapat Kerja Paripurna V Departemen Penerangan pada 25 April 1984. Dalam pernyataannya, Moerdani mengatakan bahwa setiap warga negara perlu waspada terhadap kelompok yang mengancam Pancasila dari golongan ekstrim Jenderal LB Moerdani juga kembali menekankan pada peserta Mukmamar ke-1 PPP pada 21 Agustus 1984 tentang bahaya dari kelompok yang menolak Pancasila. Moerdani mengatakan bahwa umat beragama Islam perlu waspada pada kegiatan-kegiatan yang menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan S HENDROWIJONOBangunan yang rusak dan terbakar di Tanjung Priok akibat kerusuhan 13/9/1984.Peristiwa Tanjung PriokTanjung Priok yang berada di wilayah Jakarta Utara merupakan salah satu sektor perekonomian paling penting di Indonesia. Hal ini membuat wilayah tersebut memiliki demografi penduduk yang cukup padat karena sebagian besar warganya juga bekerja di pelabuhan Tanjung Priok. Kebanyakan warga yang tinggal di kecamatan Koja merupakan pendatang dari berbagai macam etnis. Mereka mengais nafkah di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pedagang kecil, penarik becak, atau berbagai pekerjaan kasar tahun 1980-an, perekonomian Indonesia yang dihantam oleh krisis akibat anjloknya harga minyak dunia membuat aktivitas di Tanjung Priok ikut terganggu. Pada tahun 1982 harga minyak dunia turun dari US$ 34,53 menjadi US$ 29,53 per barel. Pemerintah pun kemudian menaikkan harga Bahan Bakar Minyak BBM pada tahun 1982 melalui Keputusan Presiden No. 1/1982. Mulai 4 Januari 1982 rata-rata harga BBM di Indonesia naik 60% dari harga ini kemudian membuat warga masyarakat menjadi panik sehingga berujung pada naiknya harga-harga barang. Tidak hanya itu beberapa tarif listrik, angkutan umum, dan lain sebagainya ikut naik juga imbas dari harga BBM yang melambung tinggi. Selain itu, pemerintah juga membatalkan berlabuhnya 200 kapal setiap hari sehingga menurunkan daya serap tenaga kerja di Pelabuhan Tanjung inflasi Indonesia juga semakin meningkat sejak saat itu. Pada tahun 1982 inflasi Indonesia hanya 9,06%, namun pada tahun 1983 naik menjadi 13,52% dan tahun 1984 menjadi 15,35%. Sementara itu angka pemutusan hubungan kerja mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 1983 menjadi 1984. Ini menyebabkan beban hidup masyarakat semakin dari mereka kemudian mengkritik pemerintahan Orde Baru dalam ceramah-ceramah di masjid. Mereka tidak hanya mengkritik pemerintah dalam mengatur perekonomian, namun juga terhadap kebijakan asas tunggal yang membuat kelompok-kelompok Islam semakin tersingkirkan. Nurhayati Djamas dalam tesis magisternya yang berjudul Behind the Tanjung Priok Incident, 1984 The Problem of Political Participation in Indonesia menjelaskan bahwa sikap radikal warga Tanjung Priok disebabkan karena tekanan ekonomi akibat krisis pada tahun dalam bentuk ceramah di masjid, masyarakat juga mengkritik dengan cara menempelkan pamflet-pamflet di masjid. Salah satunya adalah pamflet yang ditempel di Musala Assa’addah, kecamatan Koja, Tanjung Priok. Pemasangan pamflet tersebut mengundang reaksi aparat keamanan karena isinya yang mengkritik kebijakan 7 September 1984, aparat Babinsa Koja Sersan Satu Sertu Hermanu mendatangi musala yang dindingnya tertempel pamflet-pamflet. Ketika itu Hermanu meminta kepada Ahmad Sahi selaku pengurus musala untuk mencopot semua pamflet. Hermanu juga melarang masyarakat setempat untuk menempel pamflet-pamflet lagi yang isinya menggiring opini harinya, Sertu Hermanu kembali mendatangi Musala Assa’addah dan masih menemukan pamflet-pamflet yang tertempel di dinding musala. Dia pun marah dan mengambil pistolnya sambil menuding-nuding warga. Banyak warga ketika itu juga menceritakan bahwa Hermanu masuk ke musala hingga ke podium dan menggeledah untuk mencari pamflet-pamflet tersebut. Menurut keterangan warga, Hermanu masuk ke dalam musala dengan tidak melepaskan sepatu ini membuat warga setempat marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus masjid dan seluruh umat Islam. Melihat kondisi semakin tidak kondusif pada 10 September 1984 pengurus musala, Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara Hermanu dengan ditemani oleh Sertu Rahmad kemudian bersedia untuk datang dan berdialog dengan pengurus musala. Mendengar permintaan masyarakat agar meminta maaf atas perbuatannya, Hermanu menolak dengan alasan bahwa ia adalah petugas yang wajib menjaga keamanan dan ketertiban wilayah tersebut. Hermanu pun naik pitam karena terus didesak, namun pengurus musala meminta Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai tanpa Hermanu yang diketahui oleh warga membuat mereka kemudian mendatangi Hermanu secara paksa. Masyarakat yang marah terhadap Hermanu semakin kacau karena ingin menangkap Hermanu. Bahkan sepeda motor milik Hermanu pun dibakar oleh massa. Kondisi yang semakin kacau ini membuat pertemuan tersebut tiba-tiba datang aparat Kodim 0502 Jakarta Utara. Mereka menangkap empat orang warga yang hadir saat pertemuan tersebut, di antaranya Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman. Kemudian Mohammad Noor ditangkap karena membakar sepeda motor milik Hermanu. Sedangkan Ahmad Sahi ditangkap selaku pengurus musala yang dituduh sebagai penggerak harinya sejumlah warga Tanjung Priok tidak terima dengan penangkapan empat orang tersebut secara sepihak. Beberapa warga setempat dengan dipimpin oleh Amir Biki seorang pimpinan dari Forum Studi dan Komunikasi 66 mendatangi Kodim 0502 meminta untuk membebaskan empat warga tersebut. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena pihak militer beranggapan bahwa keempat orang tersebut berbahaya apabila 12 September 1984, pukul Amir Biki diundang secara resmi oleh Jenderal Try Sutrisno. Pertemuan tersebut membicarakan tentang kebijakan asas tunggal yang oleh pemerintah harus diterapkan dalam masyarakat sehingga dapat mengendalikan situasi di Tanjung Priok. Biki juga meminta kepada Try Sutrisno untuk membebaskan empat warga Tanjung Priok yang ditahan. Namun, pertemuan selama dua jam tersebut tidak membuahkan warga Tanjung Priok yang tidak dikabulkan kemudian mengadakan ceramah yang diberikan oleh Amir Biki, Sapirin Maloko SH, dan M. Nasir pada 12 September 1984 pukul Kegiatan tersebut kemudian diisi dengan ceramah-ceramah yang menyinggung penangkapan empat warga Tanjung Priok. Mereka juga menyinggung kelompok Islam yang semakin dikesampingkan oleh pemerintah Orde Baru. Pengeras suara yang dipasang pun dikeraskan volumenya dan mengarah langsung ke Markas Polres Jakarta pukul markas aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang mengancam akan melakukan pengrusakan apabila empat orang warga Tanjung Priok tidak dibebaskan. Amir Biki juga meminta agar keempat orang tersebut diserahkan kepada massa peserta ceramah. Tidak berselang lama aparat keamanan juga menerima telepon dengan permintaan yang sama. Namun, dari dua permintaan tersebut aparat tidak ini kemudian membuat warga berbondong-bondong mendatangi markas Kodim 0502 sekitar pukul Kompas dalam beritanya mencatat lebih kurang dari 1500 orang beramai-ramai meminta kepada aparat untuk membebaskan warganya. Mereka juga membawa senjata-senjata tajam yang cukup warga mulai menuju Kodim 0502 tiba-tiba di depan Markas Polres Jakarta Utara mereka dihadang oleh satu regu Artileri Pertahanan Udara Sedang yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung, di bawah komando Kapten Sriyanto, Kodim Jakarta Utara. Aparat kemudian berusaha untuk membubarkan massa secara persuasif. Namun, situasi semakin tidak terkontrol ketika massa bergerak secara mulai kewalahan menghadapi massa yang saat itu mulai tidak terkontrol. Mereka maju terus sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata yang ada digenggamannya. Tembakan ke udara sebagai tanda peringatan tidak menghentikan amukan warga. Aparat mulai menembak ke tanah sehingga banyak dari warga yang terluka kakinya terkena berselang lama datanglah bantuan dari aparat keamanan dengan menggunakan panser-panser untuk menghalau massa. Gerombolan massa yang terdesak kemudian mundur, tetapi mereka sempat membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan satu apotek yang berada di dekat situ. Banyak dari warga kemudian lari meninggalkan lokasi dan berlindung di masjid-masjid. Namun, beberapa dari warga yang lari kemudian mengalami penyiksaan dari 13 September 1984 pukul aparat mulai mengendalikan situasi. Warga yang terluka dan meninggal kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Aparat militer kemudian melakukan penggeledahan dan penangkapan di sekitar Tanjung Priok. Komnas HAM mencatat sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat penangkapan. Mereka kemudian ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan Rumah Tahanan Militer RTM Jenderal LB Moerdani mengatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok dan akan menangkap mereka yang terbukti sebagai dalang peristiwa tersebut. Aparat keamanan mencatat sebanyak 53 orang terluka dan sembilan orang tewas. Selain itu juga terdapat 12 kendaraan bermotor dan tiga rumah termasuk satu apotek yang hangus Youtube Kompas TV, 14 November 2020Peradilan kasus PriokBeberapa saat setelah peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok, empat tersangka yang ditahan pada 10 September 1984 mulai diadili oleh aparat keamanan. Mereka diadili dengan tuduhan telah menghasut massa di Tanjung Priok untuk melakukan kerusuhan pada 12 September 1984. Ahmad Sahi dituduh memberikan informasi palsu tentang Sersan Hermanu yang memasuki musala tanpa melepas sepatu. Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman dituduh menyerang petugas keamanan, sedangkan Mohammad Noor dituduh membakar motor orang tersebut kemudian dijatuhi hukuman penjara berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP. Ahmad Sahi dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, sedangkan Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman masing-masing 2,5 tahun penjara. Kemudian, Mohammad Noor juga menerima hukuman 18 bulan juga Keluarga Korban Ingin Penyelesaian Sesuai UUSetelah berakhirnya vonis penjara atas empat tersangka, kemudian aparat keamanan mulai menyidangkan 28 orang yang dituduh melakukan aksi kerusuhan Tanjung Priok. 28 orang tersebut merupakan orang-orang yang diambil secara acak dari 200 orang yang ditahan di RTM Cimanggis. Sebagian besar para terdakwa mengalami cedera akibat penembakan atau kekerasan oleh aparat keamanan pada malam kerusuhan di Priok pengadilan 28 orang tersangka tersebut berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Semua terdakwa dinyatakan bersalah karena menyerang petugas keamanan dan terlibat langsung dalam kerusuhan. Disebutkan oleh Jaksa, mereka terbukti membawa senjata tajam dan bensin untuk membakar. Mereka juga mengabaikan tembakan peringatan oleh petugas, melempar batu, dan memukul petugas. Mereka juga dituduh telah memprovokasi massa untuk terlibat kerusuhan. Oleh karena itu, pengadilan menjatuhi mereka hukuman penjara antara 1-3 juga menangkap beberapa aktivis yang dianggap menghasut massa atas terjadinya kerusuhan. Salah satunya adalah AM Fatwa yang ditangkap pada 19 September 1984. AM Fatwa ditangkap karena dituduh melakukan diskusi tentang peristiwa Tanjung Priok. Dia juga mengeluarkan Lembaran Putih yang isinya kronologi kerusuhan di Priok yang berbeda dengan versi pemerintah. Pada persidangannya AM Fatwa dijatuhi hukuman penjara 18 tahun karena terbukti melakukan tindak pidana itu, beberapa penceramah yang datang dalam tabligh akbar di Tanjung Priok pada malam sebelum kerusuhan juga dihadapkan di persidangan. Tanggal 20 Juli 1985, pengadilan mengadili Salim Qadar dan Yayan Hendrayana. Keduanya dituduh melakukan ceramah yang isinya mengkritik pemerintahan Orde Baru beserta para menterinya yang dianggap gagal dalam mengatasi krisis ekonomi. Ceramah-ceramah mereka juga dituduh sebagai bentuk provokasi masyarakat setempat untuk melakukan penyelidik pelanggaran HAM Tanjung PriokPemerintahan Orde Baru berakhir pada Mei 1998. Perubahan rezim membuat beberapa kasus pelanggaran HAM sepanjang Soeharto menjabat dibuka kembali. Begitupun dengan kasus Tanjung Priok 1984 yang dianggap janggal oleh Komnas HAM. Beberapa pihak juga meminta kepada pemerintah untuk membebaskan tahanan politik dan narapidana politik tapol/napol Orde korban dan keluarga korban pun mulai mendatangi Komnas HAM meminta untuk dibuka kembali peristiwa berdarah tersebut. Mereka juga mendatangi kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk menuntut Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Menhankam/Pangab dan Puspom ABRI untuk membuka kembali kasus Tanjung Priok secara transparan. Langkah ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dengan hadirnya ribuan massa dan beberapa tokoh politik yang hadir pada saat Peringatan 14 Tahun Peristiwa Tanjung Priok HAM kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus Tanjung Priok tersebut. Beberapa saksi korban dan keluarga korban mendatangi kantor Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan. Mereka bersaksi bahwa ada anggota keluarganya yang belum kembali sejak kerusuhan di Priok 1984, kemudian ada juga korban yang mengalami cacat fisik akibat perlakuan aparat saat kejadian dan tidak mendapatkan santunan dari pemeriksaan, Komnas HAM juga menemukan indikasi adanya kuburan massal korban kasus Tanjung Priok. Hal ini berasal dari dua saksi penggali kubur yang mendatangi Komnas HAM pada 9 November 1998. Dari delapan makam yang sudah ditemukan, ada lima keluarga yang telah mengkonfirmasi. Komnas HAM berkeyakinan bahwa jumlah korban peristiwa Priok jauh di atas laporan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok membuat keluarga korban mengajukan tiga usulan kepada DPR. Pertama, DPR diminta membuat Panitia Khusus untuk menyelidiki kasus Tanjung Priok karena salah satu kendala yang dihadapi adalah ketidakmampuan mendatangkan mantan petinggi militer. Kedua, DPR diminta menyusun RUU Komisi Pengakuan Sejarah Tindak Kekerasan. Ketiga, DPR diminta mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki terjadinya kekerasan agar menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran juga Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa LaluPada tanggal 29 Februari 2000, Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran KPP HAM untuk kasus Tanjung Priok. KPP HAM Tanjung Priok diketuai oleh Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto. Anggota KPP HAM didominasi anggota Komnas, yaitu Aisyah Aminy, BN Marbun, Albert Hasibuan, Samsudin, Charles Himawan, Saafroedin Bahar, dan Mohammad HAM Priok kemudian melakukan penyelidikan terhadap para petinggi militer yang bertugas pada saat peristiwa terjadi. Pada 24 Maret 2000, dipanggillah mantan Komandan Kodim Jakarta Utara, yaitu Mayjen TNI Butarbutar dan mantan asisten operasi Kodam Jaya Brigjen Purn Alip Pandoyo. Keduanya mengaku adanya permintaan satu pasukan peleton untuk membantu Kodim Jakarta Utara menghadapi warga Priok, namun mereka tidak tahu siapa yang 3 Mei 2000, KPP HAM Priok juga memeriksa mantan Panglima Kodam Pangdam V Jaya Jenderal Purn Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal Purn LB Moerdani. Try mengatakan, tidak ada perintah penembakan dari dirinya. Apa yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok itu sesuai dengan SOP, berdasarkan keadaan pada saat itu, sedangkan LB Moerdani tidak menjawab sepatah katapun karena kondisi kesehatannya yang pemeriksaan KPP HAM, Djoko Soegianto mengakui, tidak mudah baginya untuk mengungkap tragedi Tanjung Priok. Hal ini disebabkan karena sebagian dokumen, bukti, atau saksi sudah tidak ada lagi. Bahkan, beberapa dokumen sengaja dimusnahkan. Mantan Direktur Utama RSPAD, Brigjen Purn Sumardi, juga menyatakan tidak tahu sama sekali mengenai peristiwa tersebut pada saat terjadinya kasus Priok. Sumardi hanya mengetahui rumah sakitnya kedatangan 36 pasien yang menderita luka-luka kemudian setelah itu dibawa mengenai kuburan massal korban Tanjung Priok kemudian mulai ditindaklanjuti oleh KPP HAM. Mereka berencana untuk menggali beberapa makam korban untuk diperiksa penyebab kematiannya. Untuk keperluan tersebut, Komnas HAM bekerja sama dengan tim forensik Universitas Indonesia, tim forensik kedokteran Polri dan tim laboratorium forensik Polri. Sepanjang penggalian dari bulan Agustus-September 2000, KPP HAM dapat memberikan kesimpulan sementara bahwa jumlah korban Priok 1984 lebih banyak dari yang penyelidikan oleh KPP HAM Priok ini kemudian diserahkan kepada kejaksaan pada 14 Oktober 2000. Komnas HAM mengakui bahwa kasus kerusuhan Tanjung Priok 1984 dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam laporannya KPP HAM Priok juga menyertakan 23 nama yang diduga sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Pada 13 November 2000, Kejaksaan Agung mulai melakukan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok berdasarkan laporan dari Komnas SUSANTOKomisi Penyelidik dan Pemeriksa KPP Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok jumpa pers di Kejaksaan Agung 14/10/2000 tentang kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok. Ia menyatakan KPP Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, merekomendasikan 23 orang pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok bulan September 1984. Tampak anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, Djoko Soegianto dan Jaksa Agung Marzuki HAM ad hocPenyelesaian kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok diupayakan untuk diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Hal ini mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku dapat diadili melalui pengadilan HAM ad proses penyelesaian kasus Priok di jalur hukum, mantan Panglima Kodam Jaya Jenderal Purn Try Sutrisno, bersama pejabat keamanan lainnya yang bertugas saat kasus Tanjung Priok 1984 sepakat berdamai dengan korban islah. Pembacaan piagam perdamaian dilangsungkan pada 7 Maret 2001 di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, dengan disaksikan Rektor Universitas Paramadina Mulya Nurcholish Madjid dan Panglima Kodam Jaya Mayjen Bibit Waluyo serta korban dan keluarga ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Elsam Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa islah harus dikukuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan disertai dengan pengungkapan kebenaran. Tanpa itu, islah tidak memiliki kekuatan yuridis untuk menghentikan proses hukum yang dilakukan kejaksaan. Oleh karena itu, proses hukum pengadilan HAM ad hoc terus 21 Maret 2001, DPR secara resmi mengajukan usul kepada pemerintah untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kemudian Presiden, Ketua Mahkamah Agung, dan Jaksa Agung mengangkat dan menetapkan hakim dan jaksa ad hoc yang memiliki integritas dan bertanggung pada 12 Januari 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri akhirnya mengesahkan pengangkatan hakim ad hoc pengadilan HAM lewat Keppres Nomor 6/M. Presiden Megawati mengangkat enam hakim ad hoc pada pengadilan tinggi dan 12 hakim pada pengadilan tingkat pertama. Beberapa hakim ad hoc memiliki latar belakang yang berbeda-beda mulai dari akademisi hingga pensiunan pengadilan HAM ad hoc dibuka, pada 13 November 2002 Kejaksaan Agung mengumumkan 14 orang tersangka yang terbukti melakukan pelanggaran HAM kasus Tanjung Priok 1984. Namun, baru empat tersangka yang disebutkan, yakni Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Danjen Kopassus Mayjen Sriyanto, yang ketika itu menjabat sebagai Perwira Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara; mantan Komandan Polisi Militer Kodam Jaya Mayjen Pranowo; mantan Komandan Kodim Jakarta Utara Mayjen Rudolf Butar Butar; dan mantan Komandan Regu Artileri Pertahanan Udara Kapten Sutrisno MEGOSURYASidang kasus Tanjung Priok Lima terdakwa dihukum masing-masing 20 bulan. Lima pemuda yang tertangkap pada kasus kerusuhan di Tanjung Priok 12 September 1984, masing-masing dijatuhi hukuman 20 bulan penjara potong tahanan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara 18/3/1985.Pengadilan HAM ad hoc kemudian digelar pada September 2003 - Agustus 2004 dengan agenda pemeriksaan terhadap beberapa tersangka yang sudah ditetapkan dan kesaksian dari para korban. Beberapa pejabat aparat keamanan, ketika itu, dituduh melakukan tindakan pelanggaran HAM yang berat karena tidak mencegah atau menghentikan tindakan penyiksaan yang dilakukan anggotanya, serta tidak menyerahkan kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, mereka juga terbukti melakukan pembunuhan terhadap warga Tanjung Priok ketika peristiwa saksi korban yang diperiksa dalam pengadilan HAM ad hoc juga menyatakan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok dirinya dipukuli secara bergantian oleh sejumlah aparat selama sekitar dua sampai tiga jam. Ada juga korban yang dimakamkan pada malam hari tanggal 13 September 1984 tanpa sepengetahuan keluarga korban. Beberapa mayat korban juga ada yang dibuang di Pulau melalui proses persidangan yang cukup panjang, aparat militer yang terbukti bersalah dituntut kurungan penjara selama lima hingga sepuluh tahun. Majelis hakim juga memutuskan kompensasi Rp1,15 miliar yang harus dibayar negara kepada korban atau keluarganya. Beberapa dari para tersangka tidak terima dengan keputusan pengadilan. Mereka kemudian mengajukan pembelaan dengan alasan tidak bertanggung jawab terhadap peristiwa Tanjung Agustus 2004, mantan Kepala Polisi Militer Kodam V Jaya Mayjen Purn Pranowo dan mantan Kepala Seksi Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara Mayjen Sriyanto divonis bebas setelah dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat. Beberapa anggota prajurit hanya divonis 2-3 tahun. Hanya Mayjen Rudolf Butar Butar yang divonis sepuluh tahun dan keluarga korban tidak menerima keputusan pengadilan atas dibebaskannya beberapa aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok. Meskipun pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Priok telah berakhir, keluarga korban Priok dan korban pelanggaran HAM lainnya, bersama dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat terus menyerukan keadilan kepada pemerintah. LITBANG KOMPASReferensi
Tigakasus lain yang sudah selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000. "Tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti, hasilnya baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap," kata Burhanuddin.
Jakarta - Demonstrasi berujung kekerasan berdarah di Tanjung Priok, 38 tahun lalu itu bermula saat masyarakat, terutama di Jakarta, menolak penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang dimunculkan Presiden kedua RI Soeharto. Namun, provokasi dan hasutan diduga sebagai akar yang membuat aksi protes 12 September 1984 terhadap kebijakan Soeharto itu berujung tragedi dari dokumen Komnas HAM, demonstrasi penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal berakar pada aksi kekerasan dan penahanan terhadap empat warga, yaitu Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad orang itu ditahan setelah sebelumnya terdapat aksi pembakaran sepeda motor Babinsa. Pembakaran terjadi setelah masyarakat mendengar ada aksi provokasi yang dilakukan oknum tentara di sebuah masjid. Kabar beredar semakin liar dan menyebabkan masyarakat setempat marah. Aksi untuk menolak penahanan empat orang itu pun kemudian berkumpul dalam sebuah tabligh akbar di Jalan Sindang, di wilayah Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984. Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat, dalam ceramahnya menuntut pembebasan empat orang itu, yang juga jemaah Mushala As Sa’ Biki memimpin massa untuk mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara. Berbagai upaya dilakukan agar empat tahanan itu dibebaskan. Namun, upaya yang dilakukan oleh Amir Biki tak mendapat respons yang baik. Massa dihadang aparat keamanan di depan Polres Jakarta keamanan berupaya melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan massa. Namun, saat itu massa tidak mau bubar sebelum tuntutannya dipenuhi. Bahkan, menurut Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban LB Moerdani, dari arah massa yang berdemonstrasi terdapat sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan menjadi alasan bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas, bahkan brutal. Hujaman timah panas menjadi langkah akhir, ketika imbauan agar massa membubarkan diri tak digubris. Akibatnya, korban berjatuhan. Komnas HAM mencatat korban tewas mencapai 24 orang, sedangkan 55 orang mereka terdapat terdakwa lain, Ratono, yang didakwa telah merongrong dan menyelewengkan ideologi serta haluan negara yang salah. Tidak hanya itu, bahkan pemerintah menahan anggota Petisi 50, AM Fatwa. Sebab, kelompok itu menerbitkan "Lembaran Putih" yang berisi penjelasan mengenai tragedi itu, yang berbeda dengan versi pemerintah. AM Fatwa terkena jerat HAMIklan Masalah yang terjadi di Tanjung Priok ini menjadi sebuah perhatian serius. Pemerintah dinilai tak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik dan melanggar sebuah laporan investigasi Kasus Tanjung Priok terbitan Kontras pada Maret 2000, Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok KP3T KP3T untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM karena mendapat tekanan yang serius dari berbagai pihak untuk segera mengusut tuntas peristiwa tersebut. Laporannya adalah terdapat sebuah kesewenang-wenangan dari pihak aparat terhadap korban. Pihak aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan di luar proses hukum terhadap seseorang yang dicurigai ikut dalam insiden itu, adanya penghilangan paksa juga terjadi selama selang waktu tiga bulan sejak peristiwa 12 September 1984. Saat itu, korban ditangkap dan ditahan secara semena-mena tanpa ada surat pemberitahuan kepada pihak keluarga dan tanpa alasan yang jelas. Begitu juga penangkapan dan penahanan serta dalam persidangan pun diketemukan ketidakjujuran selama dari KP3T menyebutkan nama-nama yang terlibat dalam aksi pelanggaran HAM tersebut, yaitu dari Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta Utara dan beberapa perwira tinggi selama kejadian termasuk pelanggaran HAM berat, pemerintah diminta untuk menuntaskan kasus Tanjung Priok itu. Kasus ini akhirnya dianggap sudah diselesaikan melalui proses mediasi dan islah yang BOUFAKARBaca juga 38 Tahun Lalu Peristiwa Tanjung Priok Berdarah, Begini KronologinyaIkuti berita terkini dari di Google News, klik di sini.
Perbedaankedua dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah dari sifat kedua pengadilan yang dibentuk tersebut. Memang keduanya merupakan Pengadilan yang dibentuk dan didasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM yang diberlakukan di Indonesia. Namun dari landasan hukum tersebut pula dapat dilihat sifat dari kedua
PENYELESAIAN kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dinilai lebih efektif dengan membentuk Komisi Kepresidenan ketimbang menjalankan konsep Dewan Kerukunan Nasional DKN. Pemerintah harus mencari solusi agar hak-hak korban terpenuhi. Demikian dikatakan Kepala Divisi Pemantauan Impunitas pada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras Feri Kusuma dalam konferensi pers Memperingati Peristiwa Tanjung Priok 1984, di kantor Kontras, Jakarta, Rabu 12/9. Insiden berdarah Tanjung Priok pada 12 September 1984 masih menyisakan duka bagi keluarga korban. Kini tepat 34 tahun pascapetaka, pemerintah belum kunjung mengambil sikap, apakah kasus dapat diselesaikan dengan jalan damai atau justru dianggap selesai tanpa menghukum para pelaku. Berdasarkan laporan Komnas HAM, sambung dia, peristiwa kelam di era Orde Baru itu menimbulkan korban sebanyak 79 orang. Perinciannya, 24 korban meninggal dan 55 lainnya mengalami luka serius. Kasusnya berupa pembunuhan secara kilat summary killing, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang unlawful arrest and detention, penyiksaan torture, dan penghilangan orang secara paksa enforced disappearance. Beruntung pada 2003-2004 digelar pengadilan HAM ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim kemudian memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Tanjung Priok. "Akan tetapi pengadilan gagal menghukum para pelaku dan memenuhi hak-hak korban," ujar Feri. Menurut dia, pengadilan HAM ad hoc bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum dengan memvonis bersalah para pelaku, namun ikut gagal memberikan kebenaran yang sejati atas peristiwa tersebut. Realitas itu menjadi salah satu hambatan bagi korban untuk mendapatkan hak kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi, seperti yang diatur dalam Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Aktivis Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia IKOHI Wanmayeti menambahkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tanjung Priok, sejatinya menjadi prioritas pemerintah. Apalagi, janji penuntasan pelbagai kasus itu tercantum dalam visi dan misi pemerintahan Joko Widodo, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2014-2019. "Namun hingga kini menjelang masa akhir pemerintahannya, janji akan penuntasan ini belum diwujudkan dalam kebijakan yang nyata. Sehingga, hak-hak korban yang seharusnya dipenuhi oleh negara menjadi terabaikan," tuturnya. Di sisi lain, imbuh dia, pemenuhan hak korban juga menjadi terhambat dengan adanya konsep DKN yang digagas Menkopolhukam Wiranto. Konsep itu bertujuan agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, ketimbang mengedepankan mekanisme peradilan yang dikawatirkan menimbulkan konflik. "Terlihat bahwa DKN dijadikan sebagai agenda 'cuci tangan' yang melanggengkan impunitas. Itu dijadikan sebagai upaya untuk melarikan diri dari pertanggungjawaban hukum, mengingat Wiranto juga sebagai terduga pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu." Kontras dan IKOHI berharap apabila Komisi Kepresidenan jadi dibentuk maka strukturalnya harus bermaterikan figur yang berintegritas, berpihak pada keadilan, serta memiliki rekam jejak kredibel pada isu-isu HAM. Komisi Kepresidenan yang berada langsung di bawah presiden dipandang sangat tepat untuk menguraikan dan mencari langkah konstruktif menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. "Kami berharap hati nurani negara untuk kami yang selama ini mengalami penderitaan. Apalagi kasus itu seperti perang, serangan letusan bertubi-tubi, hingga ayah saya, Bachtiar, hilang dan belum ditemukan," timpal warga Tanjung Priok, Jakarta Utara, Nurhayati, 52.OL-6
3tuntutan untuk menggelar pengadilan ham ad hoc itu terjadi Islah antara. Jenderal Try Soetrisno dengan sebagian korban pelanggaran Ham Tanjung. Priok. Jelas Islah tersebut merupakan sebuah tindakan di luar proses hukum. Karena itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menunda apalagi meniadakan. proses pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok.
Sampai saat ini pemerintah dinilai belum menjalankan kewajibannya memberikan keadilan bagi korban. Sejumlah korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok 1984 mendesak agar pemerintah memenuhi rasa keadilan bagi korban. Pasalnya, hal itu tetap tak terpenuhi walau pengadilan HAM ad hoc sudah diselenggarakan. Karena majelis di tingkat banding dan kasasi membebaskan para pelaku. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan KontraS, Yati Andriyani mengatakan pemerintah tetap harus bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi tepat 28 tahun silam itu. Karena dalam kasus pelanggaran HAM berat, tidak dikenal istilah kadaluarsa. Apalagi lewat hasil penyelidikan yang pernah dilakukan Komnas HAM, kasus Tanjung Priok dikategorikan pelanggaran HAM berat. Dalam persidangan pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok, Yati menilai terdapat banyak kejanggalan. Pasalnya, hakim di pengadilan menyatakan terdapat pelanggaran HAM berat dan menimbulkan korban tapi tidak ada pelaku. Yati melihat ada indikasi kuat penyuapan terhadap saksi korban agar mengubah kesaksiannya di pengadilan. Atas dasar itulah Yati berpendapat kasus Tanjung Priok belum dituntaskan negara. “Kami beranggapan kasus Tanjung Priok belum ada penyelesaian oleh negara, semua yang dilakukan sampai saat ini hanya formalitas yang belum memberikan rasa keadilan bagi korban,†kata dia dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Rabu 12/9. Pada saat yang sama salah seorang korban, Aminatun, mengatakan ketidakmampuan institusi pengadilan menghadirkan keadilan bagi korban bukan berarti negara melepas tanggung jawab. Menurutnya, rasa keadilan, fakta kebenaran dan pemulihan harus diupayakan negara melalui otoritas politik yang dimiliki pemerintah. Langkah itu menurut Aminatun sudah diupayakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY dengan memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Menkopolhukam, Djoko Suyanto untuk mencari format penyelesaian terbaik untuk kasus pelangaran HAM berat masa lalu. Atas dasar itu dibentuk tim kecil yang dikomandoi Menkopolhukam untuk melaksanakan perintah presiden tersebut. Sayangnya, sejak tim kecil dibentuk pada Mei 2011, sampai saat ini belum ada hasil yang diketahui para korban atas kerja-kerja yang telah dilakukan tim tersebut. Padahal, Menkopolhukam pernah menemui perwakilan korban dan berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tanjung Priok.